EDY MARHADI

Powered By Blogger

Selasa, 04 Oktober 2011

Keteladanan Inspiratif dari Presiden Prawiranegara


Keteladanan Inspiratif dari Presiden Prawiranegara

by jendelabuku







Sebagai Ketua PDRI, ia berjasa besar dalam mempertahankan pemerintahan Indonesia yang berada di ujung tanduk.





BARANGKALI kita kadung mengenal sejarah dalam wajah yang menyebalkan. Setidaknya, ada dua sebab. Pertama penulisan riwayat bangsa dan negara Indonesia–khususnya pada masa Orde Baru (1965-1998)–yang lebih menekankan pembacaan sejarah secara politis yang mengutamakan versi rezim penguasa. Berikutnya, pembelajaran sejarah identik dengan menghafal nama-nama tokoh yang terlibat dalam suatu peristiwa, tanggal peristiwa, atau berpaku pada pola pembakuan kronologis, tanpa pernah mengulas lebih mendalam latar belakang terjadinya suatu peristiwa.


Dalam situasi pembacaan sejarah yang demikian, novel Presiden Prawiranegara: Kisah 207 Hari Syafruddin Prawiranegara Memimpin Indonesia karangan Akmal Nasery Basral ini memberi celah penghayatan sejarah dengan cara yang berbeda. Mengasyikkan sekaligus memberi teladan.


Sebagaimana yang diakui Akmal pada acara Obrolan Pembaca Media Indonesia (OPMI) yang berlangsung di TM Bookstore, Depok, pada pekan lalu, Presiden Prawiranegara merupakan novel sejarah (historical novel).


Sebagai sejarah, novel ini mendasarkan fakta menyangkut tanggal dan nama-nama yang ada di dalam cerita sesuai dengan apa yang ada dalam kenyataan. Sebagai novel, Presiden Prawiranegara mendasarkan penulisan pada kreasi imajinasi demi merancang alur yang mampu memikat pembaca.


Novel Presiden Prawiranegara berkisah tentang pengalaman Kamil Koto–seorang pencuri kelas teri yang biasa beraksi di pelabuhan dan pasar Pariaman, Sumatra Barat–bersama Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) Syafruddin Prawiranegara, yang akrab dipanggil Pak Syaf.


Kebersamaan selama 207 hari itulah yang memberi peluang bagi Kamil untuk mengenal secara intim sosok Pak Syaf, seseorang yang ia yakini sebagai Presiden Republik Indonesia pada masa itu.


Perubahan riwayat perjalanan hidup Kamil, dari seorang pencuri kelas teri menjadi seorang tukang pijit yang turut serta mendampingi Pak Syaf dalam menjalankan roda pemerintahan PDRI, terjadi ketika ia ketahuan mencuri jam saku berantai emas milik Ajo Sidi, orang kaya yang terkenal kikir di Pariaman.


Awalnya, sewaktu berjalan-jalan di pasar Pariaman, Ajo Sidi tidak menyadari bahwa jam saku miliknya lenyap dicuri Kamil. Sesampai di rumah, ia baru menyadarinya. Ia pun bersama tukang pukulnya kembali ke pasar Pariaman demi mendapatkan jam miliknya.


Dari situlah, karier Kamil sebagai pencuri berakhir. Tukang pukul Ajo Sidi menghajar Kamil sampai babak belur. Nyawa Kamil selamat ketika Mr Sutan Mohammad Rasyid atau Residen Rasyid datang menolong Kamil yang sudah sekarat.


Pertemuan dan perkenalan dengan Residen Rasyid itulah yang mengubah jalan hidup Kamil di kemudian hari. Kamil memutuskan berhenti menjadi pencuri untuk kemudian beralih menjadi tukang pijat yang setia mengikuti Residen Rasyid hingga mengantarkannya bertemu dengan Ketua PDRI Pak Syaf.


Melalui keahlian memijat, Kamil dapat berdialog dan kemudian mengenal Pak Syaf. Sewaktu aktif terlibat dalam barisan Republik penentang penjajahan Belanda yang terhimpun dalam PDRI, Kamil pun mengenal sosok perempuan rupawan Puti Zahara.


Ternyata, Puti Zahara adalah putri Ajo Sidi, orang kaya kikir yang sempat mengerahkan tukang pukul untuk menghajar Kamil karena mencuri jam sakunya.


Berlatarkan konflik antara Republik dan Belanda, kisah asmara Kamil Koto dan Puti Zahara pun mekar perlahan. Di kemudian hari, Kamil dan Puti pun menikah dan mendirikan rumah makan Salero Koto Minang & Indonesia Cuisine, di Karachi dan Islamabad.





Nilai sejarah


Peran fenomenal Pak Syaf terjadi saat Republik yang baru diproklamasikan Presiden Soekarno diacak-acak lagi oleh penjajah Belanda.


Maka, dua buah rancangan pesan kawat yang dibuat secara tergesa-gesa rampung sudah. Lembar pertama berisi penyerahan mandat kepada menteri kemakmuran Syafruddin Prawiranegara untuk membuat pemerintahan darurat, sedangkan lembar kedua ditujukan kepada Sudarsono sebagai Duta Besar Indonesia untuk India dan Menteri Keuangan Alex Maramis. Mereka didaulat untuk membentuk exile government jika Syafruddin gagal mendirikan pemerintahan darurat.


Di luar, tentara Belanda telah membombardir Yogyakarta dalam agresi militernya yang kedua. Pemerintahan Republik Indonesia memasuki masa genting. Soekarno, Hatta, dan sejumlah pejabat tinggi negara ditangkap. Dan dua buah rancangan kawat itu, tak pernah sampai ke orang-orang yang dituju.


Namun, bagaimana mungkin Syafruddin Prawiranegara akhirnya mampu mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi?


Menurut Akmal lagi, peran Pak Syaf dalam kelangsungan Republik Indonesia sangatlah penting. Ketika agresi militer kedua terjadi, Pak Syaf sedang bertugas di Bukittinggi.


Setelah mendengar penyerangan Belanda ke Yogyakarta, Pak Syaf lantas berinisiatif mendirikan PDRI walau tak menerima mandat apa pun. Sebuah langkah yang dinilai sangat berani. Itu sama saja dengan menyerahkan lehernya sendiri untuk mati. Karena ketika tak ada mandat, ia bisa saja dituduh makar.


Betul, tapi secara prinsip justru Pak Syaf menyelamatkan Republik karena negara dibangun dengan tiga hal. Ada penduduk, wilayah, dan pemerintahan. Ketika pemerintahan tidak ada, tidak akan ada negara Indonesia,” kata Akmal.


Proses kreatif


Pengarang Akmal Nasery Basral mengakui bahwa kelahiran novel Presiden Prawiranegara bermula dari tantangan sebuah penerbit agar ia menulis novel tentang pahlawan nasional. Tantangan tersebut sebetulnya tidak bisa dilepaskan dari keberhasilan Akmal menulis novel Sang Pencerah yang berhasil meraih penghargaan Islamic Book Fair Award pada 2010.


?Saya merasa tertantang, dan saya pun mencari gagasan apa yang mau ditulis,? imbuhnya.


Setelah berjibaku mencari, akhirnya Akmal pun menemukan tokoh yang riwayatnya akan ia tuliskan dalam bentuk novel. Tokoh itu adalah Syafruddin Prawiranegara (1911-1989).


Ada tiga alasan utama Akmal menjatuhkan keputusan untuk menulis riwayat Prawiranegara. Pertama, tahun 2011 adalah momentum seratus tahun Syafruddin Prawiranegara. Kedua, dalam sejarah Indonesia, peran Pak Syaf kontroversial–selain terlibat dalam pendeklarasian PDRI pada 22 Desember 1948, pun terlibat dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang dideklarasikan pada 15 Februari 1958 di Padang, Sumatra Barat.


Ketiga, pengalaman Akmal pada ?80-an melihat keributan pada saat salat Idul Fitri. ?Waktu itu saya masih SMP, dan melihat ada ribut-ribut sehabis khotbah karena khatibnya Pak Syaf. Memang, pada saat itu ada tiga orang yang dilarang menjadi khatib, Pak Syaf, Bung Tomo, dan Pak AM Fatwa,? terang Akmal.


Karena mau menulis novel sejarah, setidaknya Akmal harus menyediakan dua hal fundamental, yaitu fakta dan fiksi. Fakta menyangkut segala hal yang berhubungan dengan lokasi, tanggal, dan pelaku sejarah.


Untuk memenuhi kebutuhan akan fakta, Akmal pun meneliti dokumen-dokumen sejarah yang berkaitan dengan Pak Syaf di Arsip Nasional, Jakarta. Adapun fiksi, menyangkut kreasi sudut pandang penceritaan.


Akmal mengakui bahwa penentuan sosok pencerita dalam novel memberikan kesulitan yang luar biasa. Setelah memeras akal, ia akhirnya menemukan ide tentang sosok pencerita macam apakah yang pantas untuk mengisahkan peran Pak Syaf sewaktu memimpin PDRI.


Akmal memutuskan akan menggunakan sudut pandang pemuda tanggung yang berusia sekitar 16 atau 17 tahun, tidak berpendidikan, hidup dengan cara mencuri, dan punya konflik batin dengan ayahnya.


Sosok pencerita itu adalah Kamil Koto. Dari mata Kamil-lah pembaca mengenali sosok Pak Syaf sekaligus mengenali konflik batin antara Kamil dan ayahnya.


Konflik batin antara Kamil dan ayah kandungnya terjadi karena sang ayah tidak mau menerima Kamil apa adanya. Kamil pun membenci ayahnya karena alasan itu.


?Relasi cinta dan benci antara ayah dan anak merupakan sisi yang penting dalam novel ini juga. Kamil Koto menemukan figur kebapakan, figur yang selama ini ia cari, dalam diri Pak Syaf,? ungkap Akmal.


Pada bagian penghujung novel Presiden Prawiranegara, menjelang perpisahan antara Kamil dan Pak Syaf ditutup dengan pesan agar Kamil berhenti membenci ayah kandungnya. Kamil pun ikhlas dan tulus melaksanakan pesan dari sosok yang telah memberinya inspirasi dan teladan dalam menjalani kehidupan.


Hingga di lapangan Liaquat Bagh, Rawalpindi, Pakistan, pada 16 Februari 1989, Kamil Koto dan Puti Zahara pun membaca koran yang mengabarkan Syafruddin Prawiranegara wafat. Dengan hati haru, Kamil dan Puti pulang dan khusyuk melaksanakan salat gaib mendoakan Pak Syaf.


Did you like this? Share it:














Leave a comment

Tidak ada komentar: